Makalah Fikih Mualamah Wakalah, Kafalah, dan Hawalah




WAKALAH, KAFALAH, DAN HAWALAH

MAKALAH

Diajukan Pada Mata Kuliah Akuntansi Manajemen
sebagai Pemenuhan Tugas Kelompok 8
Oleh

Atika Hariani                                     1630403013
Dilla Dotila                                         1630403025
Febi Velawati                                     1630403038

Dosen Pengampuh
         Muliyadi Thaib, MA.

JURUSAN EKONOMI SYARIAH KONSENTRASI MANAJEMEN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018 M / 1439 H
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الر حيم
Segala puji hanya bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Tuhan seru sekalian alam, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya-lah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah dan terlimpahkan kepada Nabi pembawa rahmat bagi alam semesta dan akan memberikan syafaatnya dihari kiamat dan hujjah bagi seluruh manusia, beliau lah nabi kita Muhammad SAW. Beliau lah yang diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak dan menjadi penutup risalah kenabian.
Pada kesempatan materi kali ini, penulis akan mencoba memaparkan mengenai Wakalah, Kafalah, dan Hawalah/Hiwalah”. Harapan penulis, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Walaupun hanya setetes tinta yang penulis goreskan dan mungkin jauh dari kesempurnaan dalam penulisan makalah ini.
Terakhir, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam penulisan makalah ini, semoga mendapatkan balasan dari Allah SWT dan semoga kita semua selalu dilimpahkan taufik dan hidayah-Nya. Amin Ya Rabbal ‘alamin.

Batusangkar,      April  2018


     Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................        i
DAFTAR ISI..................................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.....................................................................................        1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................        1
BAB II PEMBAHASAN
A.     Wakalah
1.      Pengertian, dasar hukun, rukun dan syarat ....................................        3
2.      Fatwa DSN-MUI...........................................................................        6
3.      Aplikasi pada perbankan syariah dan LKS lainnya........................        7
4.      Pembagian Wakalah.......................................................................        9
B.     Kafalah     
1.      Pengertian dan dasar hukum .........................................................      10
2.      Rukun dan syarat............................................................................      12
3.      Fatwa DSN-MUI...........................................................................      13
4.      Aplikasi pada perbankan syariah dan LKS lainnya........................      14
5.      Pembagian Kafalah.........................................................................      15
C.    Hawalah/Hiwalah
1.      Pengertian dan dasar hukum .........................................................      16
2.      Rukun dan syarat............................................................................      18
3.      Jenis-Jenis ......................................................................................      19
4.      Hawalah/Hiwalah dan kartu kredit................................................      20
5.      Fatwa DSN-MUI...........................................................................      20
6.      Aplikasi pada perbankan syariah dan LKS lainnya........................      21
BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan ..........................................................................................      23
B.  Saran.....................................................................................................      23
DAFTAR KEPUSTAKAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
Wakalah, Kafalah, Hawalah/Hiwalah sering kita dengar baik dalam ekonomi syariah maupun dalam lembaga keuangan syariah. Hal tersebut dalam dunia perbankan terdapat dalam produk jasa. Pada umumnya masyarakat awam tidak begitu memahami apa yang dimaksud dengan hal tersebut. Untuk Indonesia sebagai negara muslim sudah seharusnya sistem keuangan yang digunakan berlandaskan prinsip syariah. Namun, saat ini prinsip syariah belum begitu terealisasi penggunaannya.
Wakalah berupa penyerahan atau pendelegasian dari satu pihak kepihak lain dan harus dilakukan dengan yang telah disepakati oleh si pemberi mandat. Kafalah secara bahasa berarti dhammu (gabungan), sedangkan secara syara’ kafalah bermakna penggabungan tanggungan seorang kafil dengan tanggungan seorang ashil untuk memenuhi tuntutan dirinya, atau utang, atau barang, atau suatu pekerjaan. Hawalah/Hiwalah dapat digunakan untuk pemindahan utang dari seseorang kepada orang lain. Ini sangat sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu pemakalah mengangkat materi tentang, wakalah, kafalah, dan hawalah/hiwalah.

B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini ada beberapa rumusan yang menjadi masalah pembahasan, yaitu :
1.        Apa pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat wakalah?
2.        Bagaimana Fatwa DSN-MUI mengenai wakalah?
3.        Bagaimana  aplikasi wakalah pada perbankan syariah dan LKS lainnya?
4.        Apa sajakah pembagian wakalah?
5.        Apa pengertian, dan dasar hukum kafalah?
6.        Apa rukun dan syarat kafalah?
7.        Bagaimana Fatwa DSN-MUI mengenai kafalah?
8.        Bagaimana  aplikasi kafalah pada perbankan syariah dan LKS lainnya?
9.        Apa sajakah pembagian kafalah?
10.    Apa pengertian, dasar hukum hawalah/hiwalah?
11.    Apa rukun dan syarat hawalah/hiwalah?
12.    Apa saja jenis-jenis hawalah/hiwalah?
13.    Bagaimana aplikasi hawalah/hiwalah dan kartu kredit
14.     Bagaimana Fatwa DSN-MUI mengenai hawalah/hiwalah?
15.    Bagaimana  aplikasi hawalah/hiwalah  pada perbankan syariah dan LKS lainnya?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Wakalah
1.      Pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat
a.      Pengertian
Wakalah atau wakilah merupakan isim masdhar yang secara etimologi bermakna taukil, yaitu menyerahkan, mewakilkan dan menjaganya. Wakalah secara bahasa berasal dari kata wakala yang sinonimnya, selama wadhafa yang artinya menyerah. Wakalah juga berarti al-Hifzu yang berarti menjaga dan memelihara. (Arianti, 2015:133)
 Wakalah secara terminology didefinisikan oleh para ulama, antara lain sebagai berikut :
1)        Menurut Malikiyah
              Wakalah adalah penggantian oleh seseorang terhadap orang lain didalam haknya dimana ia melakukan tindakan hukum seperti tindakanya tanpa mengaitkan penggantian tersebut dengan apa yang terjadi setelah kematian.
2)        Menurut Hanafiyah
Wakalah adalah penempatan seseorang terhadap orang lain ditempat dirinya dalam satu tasarruf yang dibolehkan dan tertentu, dengan ketentuan bahwa orang yang mewakilkan termasuk orang yang memilih.
3)        Menurut Syafi’iyah
Wakalah adalah penyerahan oleh seseorang kepada orang lain terhadap sesuatu yang ia berhak mengejarkannya dan sesuatu itu bisa digantikan untuk dikerjakannya pada masa hidupnya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut dapat dipahami secara substansi hampir tidak ada perbedaan yang signifikan antara para ulama tersebut, yaitu wakalah adalah suatu akad dimana pihak pertaa menyerahkan wewenang kepada pihak kedua untuk melalukan sesuatu perbuatan hukum yang bisa digantikan atas nama orang lain pada masa hidupnya. Dengan demikian, apabila penyerahan tersebut harus dilakukan setelah orang yang mewakilkan meninggal dunia, seperti wasiat, maka hal tersebut tidak termasuk wakalah. (Arianti, 2015:134-136)
b.      Dasar Hukum
1)        Firman Allah QS. Al-Kahfi ayat 19
وَكَذَٰلِكَ بَعَثۡنَٰهُمۡ لِيَتَسَآءَلُواْ بَيۡنَهُمۡۚ قَالَ قَآئِلٞ مِّنۡهُمۡ كَمۡ لَبِثۡتُمۡۖ قَالُواْ لَبِثۡنَا يَوۡمًا أَوۡ بَعۡضَ يَوۡمٖۚ قَالُواْ رَبُّكُمۡ أَعۡلَمُ بِمَا لَبِثۡتُمۡ فَٱبۡعَثُوٓاْ أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمۡ هَٰذِهِۦٓ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ فَلۡيَنظُرۡ أَيُّهَآ أَزۡكَىٰ طَعَامٗا فَلۡيَأۡتِكُم بِرِزۡقٖ مِّنۡهُ وَلۡيَتَلَطَّفۡ وَلَا يُشۡعِرَنَّ بِكُمۡ أَحَدًا ١٩
Artinya: “Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.”
2)        Hadist Urwah Al-Bariqy
          “Dari Urwah al-Bariqy R.A bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah mengutusnya dengan uang satu dinar untuk membelikan beliau hewan qurban. Hadis Bukhari meriwayatkannya di tengah-tengah suatu hadits sebagaimana tersebut dalam hadits dahulu.” (Zainuddin, 2016:884)
3)     Ijma’ Ulama dan Qiyas
Sebagaimana dalam kitab Al-Mughni menjelaskan bahwa disebutkan : ulama sepakat dibolehkannya wakalah. Adapun dasar dari qiyas bahwa manusia menuntut adanya wakalah, karena tidak setiap orang mampu menyelesaikan urusannya sendiri secara langsung sehingga ia membutuhkan orang lain untuk menggantikannya menjadi wakil.  (Arianti, 2015:137)
c.    Rukun
Menurut Hanafiyah, rukun wakalah hanya satu, yaitu shighat ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama rukunnya ada empat, yaitu:
1)        Muwakkil, atau orang yang mewakilkan.
2)        Muwakkal, atau wakil
3)        Muwakkal fih atau perbuatan yang diwakilkan
4)        Shighat, ijab dan qabul . (Arianti, 2015:137)
d.      Syarat
1)        Muwakkil
     Orang yang mewakilkan harus orang yang dibolehkan melakukan sendiri perbuatannya yang diwakilkannya pada orang lain.
2)        Muwakkal
Yaitu harus orang yang cakap hukum secara fiqih, yakni baligh dan berakal, dan harus mengetahui tugas atau perkara yang diwakilkan padanya.


3)        Muwakkal fih
Perkara yang diwakilkan bukan meminta hutang, dan perkara yang diwakilkan juga bukan hukum had yang disyaratkan pengaduan, seperti had zina.
4)        Shighat
Setiap lafaz yang menunjukkan pemberian kuasa dalam perkara yang umum. (Arianti, 2015:138)

2.      Fatwa DSN-MUI
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 10/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Wakalah
Pertama : Ketentuan tentang Wakalah:
a.    Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
b.    Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua : Rukun dan Syarat Wakalah:
1.    Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
a)    Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
b)   Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
2.    Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
a)    Cakap hukum
b)   Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
c)    Wakil adalah orang yang diberi amanat.
c.    Hal-hal yang diwakilkan
a)    Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili,
b)   Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam,
c)    Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam.
Ketiga : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
(75FatwaDSNMUI.rar - RAR archive, unpacked size 11.614.772 bytes)

3.      Aplikasi pada Perbankan syariah dan LKS Lainnya
Akad Wakalah dapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan:
a.       Transfer uang
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai muwakkil terhadap bank sebagai wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada rekening tujuan. Transfer uang dapat dilakukan :
1)      Transfer uang melalui cabang suatu bank
Dalam proses ini, muwakkil memberikan uangnya secara tunai kepada bank yang merupakan wakil, namun bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut.
2)      Transfer melalui ATM
Kemudian ada juga proses transfer uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dari muwakkil kepada bank sebagai wakil. Dalam model ini, muwakkil meminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat ini adalah proses yang kedua ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.
b.        Letter Of Credit Import Syariah
 Akad untuk transaksi Letter of Credit Import Syariah ini menggunakan akad wakalah bil ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan pemberian ujrah atau fee. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan situasi yang terjadi. Akad wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
1)          Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor.
2)          Importir dan Bank melakukan akad wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor
3)           Besar ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase
c.        Letter Of Credit Eksport Syariah
Akad untuk transaksi Letter of Credit Eksport Syariah ini menggunakan akad wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002. Akad wakalah ini memiliki definisi dimana bank menerbitkan surat pernyataan akan membayar kepada eksportir untuk memfasilitasi perdagangan eksport. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi. Akad wakalah bil ujrah dengan ketentuan :
1)       Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor.
2)      Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C  (issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah.
3)      Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk  nominal, bukan dalam presentase.

4.      Pembagian Wakalah
Wakalah tidak boleh dibatalkan pada tiga objek karena berhubungan dengan orang lain. Tiga objek tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Wakalah untuk menjual barang tergadai karena berhubungan dengan hak orang yang memberi hutang yang hendak mengambil haknya.
b.      Wakalah dalam pertikaian, seperti jika seorang terdakwah mewakilkan kepada seorang untuk menyelasaikan perkarnya dengan penggugat. Dalam hal ini terdakwah tidak boleh membatalkan wakalah  nya ketika telah memutuskan sesuatu tanpa kehadiran penggugat.
c.       Wakalah untuk menyerahkan barang seseorang tanpa kehadiran orang yang mewakilkan. Dalam hal ini seorang wakil harus menerima barang itu dan tidak boleh membatalkan perwakilannya tanpa kerelaaan orang yang mewakilkannya karena dengan pembatalkan itu berarti ia telah kehilangan hak tanpa kerelaannya.  (Arianti, 2015:144)



B.     Kafalah
1.      Pengertian dan dasar hukum
a.      Pengertian
Secara bahasa kafalah berarti dhammu (gabungan), sedangkan secara syara’ kafalah bermakna penggabungan tanggungan seorang kafil dengan tanggungan seorang ashil untuk memenuhi tuntutan dirinya, atau utang, atau barang, atau suatu pekerjaan. Adapun kafil adalah orang yang berkewajiban untuk memenuhi tuntunan makful bihi (orang yang ditanggung). Dan ashil adalah orang yang berutang yang akan ditanggung.
Al-Kafalah secara etimologi berarti الضمان  (jaminan), الحمالة (beban), dan الزعامة(tanggungan).Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah, "Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang”. Definisi lain adalah, "Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitoratau yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.
Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana tersebut di atas.Namun dalam perkembangannya, Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk barang/harta benda.
Kafalah adalah akad yang mengandung kesanggupan seseorang untuk menngganti atau menanggung kewajiban hutang orang lain apabila orang tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannnya. kafalah sebagai akad yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang untuk menanggung hukuman yang seharuasnya diberikan kepada sang terhukum dengan menghadirkan dirinya atau disebut juga sebagai kafalah An Nafs.  (Sabiq, 2004:46-47)       
b.      Dasar Hukum
1)      Firman Allah QS. Yusuf ayat 66
قَالَ لَنۡ أُرۡسِلَهُۥ مَعَكُمۡ حَتَّىٰ تُؤۡتُونِ مَوۡثِقٗا مِّنَ ٱللَّهِ لَتَأۡتُنَّنِي بِهِۦٓ إِلَّآ أَن يُحَاطَ بِكُمۡۖ فَلَمَّآ ءَاتَوۡهُ مَوۡثِقَهُمۡ قَالَ ٱللَّهُ عَلَىٰ مَا نَقُولُ وَكِيلٞ ٦٦
Artinya: “Ya´qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya´qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)"

QS. Yusuf ayat 72
قَالُواْ نَفۡقِدُ صُوَاعَ ٱلۡمَلِكِ وَلِمَن جَآءَ بِهِۦ حِمۡلُ بَعِيرٖ وَأَنَا۠ بِهِۦ زَعِيمٞ ٧٢
Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya"
2)      Hadis
“Penjamin adalah orang yang berkewajiban dalam pembayara” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
3)      Ijma’
Ulama membolehkan (mubah) dhaman dalam muamalah karena dhaman sangat diperlukan dalam waktu tertentu. Adakalanya orang memerlukan modal dalam usaha dan untuk mendapatkan modal itu biasanya harus ada jaminan dari seseorang yang dapat dipercaya, apalagi usaha dagangannya besar. (Sabiq, 2004:49)        

2.      Rukun dan Syarat
a.      Rukun           
Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:
1)        Adh-Dhamin (orang yang menjamin)
2)        Al-Madhmun lahu (orang yang berpiutang)
3)        Al-Madhmun ‘anhu (orang yang berhutang)
4)        Al-Madhmun (objek jaminan)
5)        Sighah (akad/ijab)
b.      Syarat
1)      Adh-Dhamin (orang yang menjamin)
      Dengan syarat baligh (dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2)             Al-Madhmun lahu (orang yang berpiutang)
      Pihak yang berhutang/yang dijamin (makful 'anhu, 'ashil, madhmun’anhu), dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.
3)      Al-Madhmun ‘anhu (orang yang berhutang)
        Pihak yang berpiutang/yang menerima jaminan (makful lahu, madhmun lahu),dengan syarat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
4)      Al-Madhmun (objek jaminan)
merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa utang, benda, orang maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).

5)      Sighah (akad/ijab)
Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz ijab dan kabul itu berarti menjamin, dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. (Sabiq, 2004:50-51)     

3.      Fatwa DSN-MUI
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah.
Pertama : Ketentuan Umum Kafalah
a.    Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan  kontrak (akad).
b.    Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
c.     Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua :   Rukun dan Syarat Kafalah
a.     Pihak Penjamin (Kafiil)
1)   Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
2)   Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
b.         Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
1)   Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
2)   Dikenal oleh penjamin
c.    Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
1)   Diketahui identitasnya.
2)   Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
3)   Berakal sehat.
d.   Obyek Penjaminan (Makful Bihi
1)   Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik
berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
2)   Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
3)   Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
4)   Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
5)   Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).
Ketiga :  Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
(75FatwaDSNMUI.rar - RAR archive, unpacked size 11.614.772 bytes)

4.      Aplikasi pada Perbankan Syariah dan LKS Lainnya
     Dalam mekanisme system perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat diaplikasikan dalam bentuk pemberian jaminan bank dengan terlebih dahulu diawali dengan pembukaan fasilitas yang ditentukan oleh bank atas dasar hasil analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan diberikan fasilitas tersebut. Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada perkiraan administratif baik berupa komitmen maupun kontingen. Fasilitas yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan prinsip kafalah tersebut adalah fasilitas bank garansi dan fasilitas letter of credit (kartu kredit)
Fungsi kafalah adalah pemberian jaminan oleh bank bagi pihak-pihak yang terkait untuk menjalankan bisnis mereka secara lebih amandan terjamin, sehingga adanya kepastian dalam berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank berarti akan mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah lalai dalam memenuhi kewajibannya. Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga akan memperoleh manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan mereka. (Wahab, 2001:56)

5.      Pembagian Kafalah
Kafalah ada 2 macam, yaitu:
a)             Kafalah dengan jiwa
Kafalah dengan jiwa dikenal juga dengan sebutan jaminan muka, yaitu komitmen kafiil untuk menghadirkan orang yang ditanggung kepada makhul lahu. Sah apabila seseorang mengatakan, ”Aku sebagai kafiil si fulan untuk (menghadirkan) badan atau wajahnya, atau “Aku sebagai penjamin, atau”Aku sebagai penanggung”, dan semisalnya.  Hal itu dibolehkan bila menangani perkara yang berhubungan dengan hak manusia.
b)      Kafalah dengan harta
1)      Kafalah bid-dain
Komitmen kewajiban pembayaran utang yang menjadi tanggungan orang lain. Dalam perkara utang, diisyaratkan ialah, utang tersebut dinyatakan benar adanya pada saat terjadinya transaksi jaminan., dan status barang diketahui, karene tidak sah apabila status tidak diketahui.
2)      Kafalah dengan barang atau kafalah dengan penyerahan
Kafalah dengan barang atau kafalah dengan penyerahan, yaitu komitmen untuk menyerahkan barang tertentu yang ada di tangan orang lain.

3)      Kafalah bid-darak (penyusulan)
Maksud ad darak adalah barang jualan yang diketahui adanya bahaya karena telah adanya transaksi penjualan barang. Berarti ia sebagai jaminan untuk hak si pembeli kepada si penjual, apabila barang yang dijual terdapat orang yang lebih berhak. (Sabiq, 2004:53-54)     

C.    Hawalah/Hiwalah
1.        Pengertian dan dasar hukum
a.       Pengertian
Menurut Bahasa yang dimaksud hawalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya memindahkan atau mengalihkan. Sedangkan menurut Ibrahim Anis mengatakan bahwa hiwalah berasal dari kata hawwala yang sinonimnya ghayyara, artinya mengubah dan memindahkan. Hiwalah secara terminologi didefinisikan sebagai:
1)        Menurut Jumhur Ulama
“Akad yang menghendaki pengalihan hutang dari tanggungjawab seseorang kepada tanggungjawab orang lain”
2)        Sayyid Sabid dalam bukunya fiqh al-sunnah, dia mendefinisikan hiwalah sebagai:
Hiwalah adalah memindahkan hutang dari tangungan orang yang memindahkan kepada orang yang dipindahi hutang”. 
Berdasarkan definis yang telah dikemukkan di atas, dapat dipahami hiwalah adalah suatu akad pemindahan hak dari orang yang berhutang kepada orang yang dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut bila terdapat hutang yang sama. (Arianti, 2015:163-165)



b.      Dasar Hukum
1)        Firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 282
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡ‍ٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسۡ‍َٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٨٢
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka  sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
2)        Hadis
Dari Abu Hurairah Radliallahu bahwa Rasulullah bersabda : “menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman dan apabila seorang dari kalian hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia ikuti”. (Arianti, 2015:165)

2.        Rukun dan Syarat
a.        Rukun
Rukun dari hiwalah ada 6 diantaranya, sebagai berikut:
1)        Pihak pertama
2)        Pihak kedua
3)        Pihak ketiga
4)        Utang pihak pertama kepada pihak pertama
5)        Utang pihak ketiga kepada pihak pertama
6)        Shighat

b.        Syarat
Adapun syarat dari hawalah/hiwalah, diantaranya:
1)        Untuk pihak pertama, baligh, berakal, tidak gila, ada pernyataan persetujuan.
2)        Untuk pihak kedua, adanya persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah.
3)        Untuk pihak ketiga, adanya persyaratan dari pihak ketiga.
4)        Yang melahirkan pemindajan kewajiban kepada pihak ketiga untuk membayar utang kepada pihak kedua, sedangkan kewajiban untuk membayar hutang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri berhutang kepada pihak kedua.
5)        Pihak ketiga dipandang sebagai objek akad.
6)        Ijab dan kabul untuk penyempurna akad. (Arianti, 2015:166-168)

3.        Jenis-Jenis
Madzhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian: ditinjau dari segi objek akad, dan ditinjau dari jenis akad.        
a.    Ditinjau dari segi objek akad ada 2, yaitu:
1)        Hiwalah al-haqq yaitu apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang (pemindahan hak).
2)        Hiwalah al-dain yaitu apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang (pemindahan hutang/kewajiban)           
b     Ditinjau dari jenis akad  ada 2, yaitu:
1)      Hiwalah al-Muqayyadah yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama)  kepada muhal/pihak kedua (pemindahan bersyarat)
2)      Hiwalah al-Muthlaqah yaitu pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan mutlak). (Arianti, 2015:169-170)

4.        Hawalah/Hiwalah dan kartu kredit
Bank syariah menerbitkan kartu kredit syariah menggunakan skema akad, diantaranya hiwalah. Nasabah pada dasarnya memiliki hutang kepada merchant (dengan membeli suatu barang atau tertentu). Kemudian merchant tersebut menagih kepada bank. Dalam ini, antara merchant dengan bank tidak ada hubungan khusus. Namun, karena adanya wakalah yang tindak lanjuti dengan hiwalah, maka bank berkewajiban untuk membayarkan tagihan hutang dari merchant tersebut atas nama nasabah. Penerapan kartu kredit adalah hiwalah haqq. Karena, terjadi perpindahan menuntut piutang dari nasabah kepada bank oleh merchant.

5.        Fatwa DSN-MUI
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang hawalah.
Menetapkan : Ketentuan Fatwa Tentang Hawalah
Pertama : Ketentuan Umum dalam Hawalah:
a.        Rukun hawalah adalah muhil ( المحي ل ), yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal ( المحال او المحتا ل ), yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih ( المحال علي ه ), yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih ( المحال ب ه ), yakni utang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
b.        Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
c.         Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
d.        Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
e.        Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
f.          Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih, dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai, kesepakatan melalui musyawarah. 
(75FatwaDSNMUI.rar - RAR archive, unpacked size 11.614.772 bytes)

6.        Aplikasi pada Perbankan Syariah dan LKS lainnya
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksi sebagai berikut:
a.         Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut yang ditagihnya dari pihak ketiga tersebut.
b.        Post dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayar dulu piutang tersebut.
c.         Bill discounting, secara prinsip bill discounting serupa dengan hiwalah. Hanya saja dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembayaran fee tidak didapati dalam kontrak hiwalah. (Anggota IKAPI, 2007:148)














BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.      Wakalah atau wakilah merupakan isim masdhar yang secara etimologi bermakna taukil, yaitu menyerahkan, mewakilkan dan menjaganya. Dasar hukum wakalah ialah, QS. Al-Kahfi ayat 19, Hadist Urwah Al-Bariqy, Ijma’ Ulama dan Qiyas.
2.      Kafalah  secara bahasa berarti dhammu (gabungan), sedangkan secara syara’ kafalah bermakna penggabungan tanggungan seorang kafil dengan tanggungan seorang ashil untuk memenuhi tuntutan dirinya, atau utang, atau barang, atau suatu pekerjaan. Adapun kafil adalah orang yang berkewajiban untuk memenuhi tuntunan makful bihi (orang yang ditanggung). Dan ashil adalah orang yang berutang yang akan ditanggung. Dasar hukum kafalah, ialah QS. Yusuf ayat 66, QS. Yusuf ayat 72, Hadist , dan Ijma’
3.      Hawalah/Hiwalah menurut bahasa ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya memindahkan atau mengalihkan. Sedangkan menurut  Ibrahim Anis mengatakan bahwa hiwalah berasal dari kata hawwala yang sinonimnya ghayyara, artinya mengubah dan memindahkan. Dasar huku hiwalah ialah, QS. Al-Baqarah ayat 282, dan Hadis.

B.       Saran
Karena kita telah membahas tentang wakalah, kafalah, dan hawalah/hiwalah maka hendaklah terealisasikan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anggota IKPI. (2007). Perbankan Syari’ah di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Arianti, Farida. (2015). Fikih Muamalah 1. Batusangkar: STAIN Batu Sangkar Press.
Sabiq, Sayyid. (2006). Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Wahbah, Zuhaili. (2001). Fiqh Muamalah Perbankan Syari’ah. Jakarta: Kapita Selekta.
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani. (2016). Terjemahan Fathul Mu’in Jilid 1. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
 (75FatwaDSNMUI.rar - RAR archive, unpacked size 11.614.772 bytes)











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Sistem Informasi Manajemen Tentang Mencapai Keunggulan Operasional dan Kedekatan dengan Pelanggan Aplikasi Perusahaan