Makalah Fikih Mualamah Wakalah, Kafalah, dan Hawalah
WAKALAH, KAFALAH, DAN HAWALAH
MAKALAH
Diajukan
Pada Mata Kuliah Akuntansi Manajemen
sebagai
Pemenuhan Tugas Kelompok 8
Oleh
Atika Hariani 1630403013
Dilla Dotila 1630403025
Febi Velawati 1630403038
Dosen Pengampuh
Muliyadi Thaib, MA.
JURUSAN EKONOMI SYARIAH KONSENTRASI MANAJEMEN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
BATUSANGKAR
2018 M / 1439 H
KATA
PENGANTAR
بسم
الله الرحمن الر حيم
Segala puji
hanya bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Tuhan seru sekalian
alam, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya-lah penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah dan terlimpahkan
kepada Nabi pembawa rahmat bagi alam semesta dan akan memberikan syafaatnya
dihari kiamat dan hujjah bagi seluruh manusia, beliau lah nabi kita Muhammad
SAW. Beliau lah yang
diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak dan menjadi penutup risalah
kenabian.
Pada kesempatan
materi kali ini, penulis akan mencoba memaparkan mengenai “Wakalah, Kafalah, dan Hawalah/Hiwalah”. Harapan
penulis, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya dalam
kehidupan kita sehari-hari. Walaupun hanya setetes tinta yang penulis goreskan
dan mungkin jauh dari kesempurnaan dalam penulisan makalah ini.
Terakhir, penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam
penulisan makalah ini, semoga mendapatkan balasan dari Allah SWT dan semoga
kita semua selalu dilimpahkan taufik dan hidayah-Nya. Amin Ya Rabbal ‘alamin.
Batusangkar, April
2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wakalah
1.
Pengertian, dasar hukun,
rukun dan syarat .................................... 3
2.
Fatwa DSN-MUI........................................................................... 6
3.
Aplikasi pada perbankan
syariah dan LKS lainnya........................ 7
4.
Pembagian Wakalah....................................................................... 9
B. Kafalah
1.
Pengertian dan dasar
hukum ......................................................... 10
2.
Rukun dan syarat............................................................................ 12
3.
Fatwa DSN-MUI........................................................................... 13
4.
Aplikasi pada perbankan
syariah dan LKS lainnya........................ 14
5.
Pembagian Kafalah......................................................................... 15
C.
Hawalah/Hiwalah
1.
Pengertian dan dasar
hukum ......................................................... 16
2.
Rukun dan syarat............................................................................ 18
3.
Jenis-Jenis ...................................................................................... 19
4.
Hawalah/Hiwalah dan kartu
kredit................................................ 20
5.
Fatwa DSN-MUI........................................................................... 20
6.
Aplikasi pada perbankan
syariah dan LKS lainnya........................ 21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 23
B. Saran..................................................................................................... 23
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Wakalah,
Kafalah, Hawalah/Hiwalah sering
kita dengar baik dalam ekonomi syariah maupun dalam lembaga keuangan syariah.
Hal tersebut dalam dunia perbankan terdapat dalam produk jasa. Pada umumnya
masyarakat awam tidak begitu memahami apa yang dimaksud dengan hal tersebut.
Untuk Indonesia sebagai negara muslim sudah seharusnya sistem keuangan yang
digunakan berlandaskan prinsip syariah. Namun, saat ini prinsip syariah belum
begitu terealisasi penggunaannya.
Wakalah berupa penyerahan atau pendelegasian dari satu pihak kepihak lain
dan harus dilakukan dengan yang telah disepakati oleh si pemberi mandat. Kafalah
secara
bahasa berarti dhammu (gabungan), sedangkan secara syara’
kafalah
bermakna penggabungan tanggungan seorang kafil dengan tanggungan seorang
ashil untuk memenuhi tuntutan dirinya, atau utang, atau barang, atau suatu
pekerjaan. Hawalah/Hiwalah dapat digunakan untuk pemindahan utang dari seseorang kepada orang
lain. Ini sangat sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
pemakalah mengangkat materi tentang, wakalah, kafalah, dan hawalah/hiwalah.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah
ini ada beberapa rumusan yang menjadi masalah pembahasan, yaitu :
1.
Apa pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat wakalah?
2.
Bagaimana Fatwa DSN-MUI mengenai wakalah?
3.
Bagaimana aplikasi wakalah
pada perbankan syariah dan LKS lainnya?
4.
Apa sajakah pembagian wakalah?
5.
Apa pengertian, dan dasar hukum kafalah?
6.
Apa rukun dan syarat kafalah?
7.
Bagaimana Fatwa DSN-MUI mengenai kafalah?
8.
Bagaimana aplikasi kafalah
pada perbankan syariah dan LKS lainnya?
9.
Apa sajakah pembagian kafalah?
10.
Apa pengertian, dasar hukum hawalah/hiwalah?
11.
Apa rukun dan syarat hawalah/hiwalah?
12.
Apa saja jenis-jenis hawalah/hiwalah?
13.
Bagaimana aplikasi hawalah/hiwalah dan kartu kredit
14.
Bagaimana Fatwa DSN-MUI mengenai hawalah/hiwalah?
15.
Bagaimana aplikasi hawalah/hiwalah pada perbankan syariah dan LKS lainnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Wakalah
1.
Pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat
a.
Pengertian
Wakalah
atau wakilah merupakan isim masdhar yang secara etimologi bermakna
taukil, yaitu menyerahkan, mewakilkan dan menjaganya. Wakalah
secara bahasa berasal dari kata wakala yang sinonimnya, selama wadhafa yang
artinya menyerah. Wakalah juga berarti al-Hifzu yang berarti menjaga dan
memelihara. (Arianti, 2015:133)
Wakalah
secara terminology didefinisikan oleh para ulama, antara lain sebagai berikut :
1)
Menurut
Malikiyah
Wakalah adalah penggantian
oleh seseorang terhadap orang lain didalam haknya dimana ia melakukan tindakan
hukum seperti tindakanya tanpa mengaitkan penggantian tersebut dengan apa yang
terjadi setelah kematian.
2)
Menurut
Hanafiyah
Wakalah
adalah penempatan seseorang terhadap orang lain ditempat dirinya dalam satu
tasarruf yang dibolehkan dan tertentu, dengan ketentuan bahwa orang yang
mewakilkan termasuk orang yang memilih.
3)
Menurut
Syafi’iyah
Wakalah
adalah penyerahan oleh seseorang kepada orang lain terhadap sesuatu yang ia
berhak mengejarkannya dan sesuatu itu bisa digantikan untuk dikerjakannya pada
masa hidupnya.
Berdasarkan
definisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut dapat dipahami secara
substansi hampir tidak ada perbedaan yang signifikan antara para ulama
tersebut, yaitu wakalah adalah suatu akad dimana pihak pertaa menyerahkan
wewenang kepada pihak kedua untuk melalukan sesuatu perbuatan hukum yang bisa
digantikan atas nama orang lain pada masa hidupnya. Dengan demikian, apabila
penyerahan tersebut harus dilakukan setelah orang yang mewakilkan meninggal
dunia, seperti wasiat, maka hal tersebut tidak termasuk wakalah. (Arianti, 2015:134-136)
b.
Dasar Hukum
1)
Firman Allah QS. Al-Kahfi ayat 19
وَكَذَٰلِكَ
بَعَثۡنَٰهُمۡ لِيَتَسَآءَلُواْ بَيۡنَهُمۡۚ قَالَ قَآئِلٞ مِّنۡهُمۡ
كَمۡ لَبِثۡتُمۡۖ قَالُواْ لَبِثۡنَا يَوۡمًا أَوۡ بَعۡضَ يَوۡمٖۚ قَالُواْ
رَبُّكُمۡ أَعۡلَمُ بِمَا لَبِثۡتُمۡ فَٱبۡعَثُوٓاْ أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمۡ
هَٰذِهِۦٓ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ فَلۡيَنظُرۡ أَيُّهَآ أَزۡكَىٰ طَعَامٗا فَلۡيَأۡتِكُم
بِرِزۡقٖ مِّنۡهُ
وَلۡيَتَلَطَّفۡ وَلَا يُشۡعِرَنَّ بِكُمۡ أَحَدًا ١٩
Artinya: “Dan demikianlah Kami bangunkan
mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah
seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)".
Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari".
Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu
berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke
kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan
yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah
ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun.”
2)
Hadist Urwah Al-Bariqy
“Dari
Urwah al-Bariqy R.A bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah
mengutusnya dengan uang satu dinar untuk membelikan beliau hewan qurban. Hadis
Bukhari meriwayatkannya di tengah-tengah suatu hadits sebagaimana tersebut
dalam hadits dahulu.” (Zainuddin,
2016:884)
3)
Ijma’
Ulama dan Qiyas
Sebagaimana dalam kitab Al-Mughni
menjelaskan bahwa disebutkan : ulama
sepakat dibolehkannya wakalah. Adapun dasar dari qiyas bahwa manusia
menuntut adanya wakalah, karena tidak setiap orang mampu menyelesaikan
urusannya sendiri secara langsung sehingga ia membutuhkan orang lain untuk
menggantikannya menjadi wakil. (Arianti,
2015:137)
c.
Rukun
Menurut Hanafiyah, rukun wakalah hanya satu, yaitu
shighat ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama
rukunnya ada empat, yaitu:
1)
Muwakkil, atau orang yang
mewakilkan.
2)
Muwakkal, atau wakil
3)
Muwakkal fih atau perbuatan yang
diwakilkan
4)
Shighat, ijab dan qabul . (Arianti, 2015:137)
d.
Syarat
1)
Muwakkil
Orang yang
mewakilkan harus orang yang dibolehkan melakukan sendiri perbuatannya yang
diwakilkannya pada orang lain.
2)
Muwakkal
Yaitu harus orang yang cakap hukum secara fiqih, yakni
baligh dan berakal, dan harus mengetahui tugas atau perkara yang
diwakilkan padanya.
3)
Muwakkal
fih
Perkara
yang diwakilkan bukan meminta hutang, dan perkara yang diwakilkan juga bukan
hukum had yang disyaratkan pengaduan, seperti had zina.
4)
Shighat
Setiap
lafaz yang menunjukkan pemberian kuasa dalam perkara yang umum. (Arianti, 2015:138)
2.
Fatwa
DSN-MUI
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 10/DSN-MUI/IV/2000 Tentang
Wakalah
Pertama
: Ketentuan tentang Wakalah:
a. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
b. Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan
secara sepihak.
Kedua : Rukun dan Syarat Wakalah:
1.
Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
a)
Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
b)
Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni
dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah,
menerima sedekah dan sebagainya.
2.
Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
a)
Cakap hukum
b)
Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
c)
Wakil adalah orang yang diberi amanat.
c.
Hal-hal yang diwakilkan
a)
Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili,
b)
Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam,
c)
Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam.
Ketiga :
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
(75FatwaDSNMUI.rar
- RAR archive, unpacked size 11.614.772 bytes)
3.
Aplikasi pada Perbankan syariah dan LKS Lainnya
Akad Wakalah dapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk
dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan:
a.
Transfer uang
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah,
dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai muwakkil
terhadap bank sebagai wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada
bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank
mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses
yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada rekening
tujuan. Transfer uang dapat dilakukan :
1)
Transfer uang melalui cabang suatu bank
Dalam proses ini, muwakkil memberikan uangnya secara tunai kepada
bank yang merupakan wakil, namun bank tidak memberikannya secara
langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada
rekening nasabah yang dituju tersebut.
2)
Transfer melalui ATM
Kemudian ada juga proses transfer uang dimana
pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan
dari muwakkil
kepada bank sebagai wakil. Dalam model ini, muwakkil
meminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan kemudian
meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar
pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat ini
adalah proses yang kedua ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri
melalui mesin ATM.
b.
Letter Of Credit Import Syariah
Akad untuk transaksi Letter of
Credit Import Syariah ini menggunakan akad wakalah bil ujrah. Hal
ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah
bil Ujrah ini memiliki definisi dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank
dengan imbalan pemberian ujrah atau fee. Namun ada beberapa
modifikasi dalam akad ini sesuai dengan situasi yang terjadi. Akad wakalah
bil Ujrah dengan ketentuan:
1)
Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang
diimpor.
2)
Importir dan Bank melakukan akad wakalah bil Ujrah untuk pengurusan
dokumen-dokumen transaksi impor
3)
Besar ujrah harus disepakati
diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase
c.
Letter
Of Credit Eksport Syariah
Akad untuk
transaksi Letter of Credit Eksport Syariah ini menggunakan akad wakalah.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002.
Akad wakalah ini memiliki definisi dimana bank menerbitkan surat
pernyataan akan membayar kepada eksportir untuk memfasilitasi perdagangan
eksport. Namun ada beberapa modifikasi
dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi. Akad wakalah bil ujrah dengan
ketentuan :
1)
Bank melakukan pengurusan
dokumen-dokumen ekspor.
2)
Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C
(issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah
dikurangi ujrah.
3)
Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam
bentuk nominal, bukan dalam presentase.
4.
Pembagian Wakalah
Wakalah tidak boleh dibatalkan pada tiga
objek karena berhubungan dengan orang lain. Tiga objek tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Wakalah untuk menjual
barang tergadai karena berhubungan dengan hak orang yang memberi hutang yang
hendak mengambil haknya.
b. Wakalah dalam
pertikaian, seperti jika seorang terdakwah mewakilkan kepada seorang untuk
menyelasaikan perkarnya dengan penggugat. Dalam hal ini terdakwah tidak boleh
membatalkan wakalah nya ketika telah
memutuskan sesuatu tanpa kehadiran penggugat.
c. Wakalah untuk
menyerahkan barang seseorang tanpa kehadiran orang yang mewakilkan. Dalam hal
ini seorang wakil harus menerima barang itu dan tidak boleh membatalkan
perwakilannya tanpa kerelaaan orang yang mewakilkannya karena dengan
pembatalkan itu berarti ia telah kehilangan hak tanpa kerelaannya. (Arianti,
2015:144)
B. Kafalah
1. Pengertian dan dasar hukum
a. Pengertian
Secara bahasa kafalah berarti dhammu
(gabungan), sedangkan secara syara’ kafalah bermakna penggabungan
tanggungan seorang kafil dengan tanggungan seorang ashil untuk
memenuhi tuntutan dirinya, atau utang, atau barang, atau suatu pekerjaan. Adapun
kafil adalah orang yang berkewajiban untuk memenuhi tuntunan makful
bihi (orang yang ditanggung). Dan ashil adalah orang yang berutang
yang akan ditanggung.
Al-Kafalah secara
etimologi berarti الضمان (jaminan), الحمالة (beban), dan الزعامة(tanggungan).Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan
para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah,
"Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang”. Definisi lain
adalah, "Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor (makful lahu)
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitoratau
yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.
Pada asalnya, kafalah
adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana
tersebut di atas.Namun dalam perkembangannya, Kafalah identik dengan kafalah
al-wajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman
identik dengan jaminan yang berbentuk barang/harta benda.
Kafalah adalah
akad yang mengandung kesanggupan seseorang untuk menngganti atau menanggung
kewajiban hutang orang lain apabila orang tersebut tidak dapat memenuhi
kewajibannnya. kafalah sebagai akad yang tertuang di dalamnya tentang
kesanggupan seseorang untuk menanggung hukuman yang seharuasnya diberikan
kepada sang terhukum dengan menghadirkan dirinya atau disebut juga sebagai
kafalah An Nafs. (Sabiq, 2004:46-47)
b.
Dasar Hukum
1)
Firman Allah QS. Yusuf ayat 66
قَالَ لَنۡ
أُرۡسِلَهُۥ مَعَكُمۡ حَتَّىٰ تُؤۡتُونِ مَوۡثِقٗا مِّنَ
ٱللَّهِ لَتَأۡتُنَّنِي بِهِۦٓ إِلَّآ أَن يُحَاطَ بِكُمۡۖ فَلَمَّآ ءَاتَوۡهُ
مَوۡثِقَهُمۡ قَالَ ٱللَّهُ عَلَىٰ مَا نَقُولُ وَكِيلٞ
٦٦
Artinya: “Ya´qub berkata: "Aku
sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu
memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan
membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". Tatkala
mereka memberikan janji mereka, maka Ya´qub berkata: "Allah adalah saksi
terhadap apa yang kita ucapkan (ini)"
QS. Yusuf ayat 72
قَالُواْ نَفۡقِدُ صُوَاعَ ٱلۡمَلِكِ
وَلِمَن جَآءَ بِهِۦ حِمۡلُ بَعِيرٖ وَأَنَا۠ بِهِۦ زَعِيمٞ
٧٢
Artinya: “Penyeru-penyeru itu
berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya"
2)
Hadis
“Penjamin adalah orang yang berkewajiban dalam
pembayara” (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi)
3) Ijma’
Ulama membolehkan (mubah) dhaman dalam muamalah karena dhaman sangat diperlukan dalam waktu tertentu. Adakalanya orang memerlukan modal dalam usaha dan untuk
mendapatkan modal itu biasanya harus ada jaminan dari seseorang yang dapat dipercaya, apalagi usaha dagangannya besar. (Sabiq, 2004:49)
2. Rukun dan Syarat
a.
Rukun
Adapun
rukun kafalah sebagaimana yang
disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:
1)
Adh-Dhamin (orang
yang menjamin)
2)
Al-Madhmun
lahu (orang yang berpiutang)
3)
Al-Madhmun
‘anhu (orang yang berhutang)
4)
Al-Madhmun (objek
jaminan)
5)
Sighah
(akad/ijab)
b.
Syarat
1)
Adh-Dhamin (orang
yang menjamin)
Dengan syarat baligh (dewasa),
berakal sehat, berhak
penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2)
Al-Madhmun
lahu (orang yang berpiutang)
Pihak yang
berhutang/yang dijamin (makful 'anhu, 'ashil, madhmun’anhu), dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya
(piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.
3) Al-Madhmun ‘anhu (orang
yang berhutang)
Pihak
yang berpiutang/yang menerima jaminan (makful lahu, madhmun lahu),dengan
syarat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal
sehat.
4)
Al-Madhmun (objek jaminan)
merupakan tanggungan
pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa utang, benda, orang
maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh
pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau
dibebaskan, harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah
(diharamkan).
5) Sighah
(akad/ijab)
Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz
ijab dan kabul itu berarti menjamin, dan tidak
bertentangan dengan syariat Islam. (Sabiq, 2004:50-51)
3.
Fatwa DSN-MUI
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
NO: 11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah.
Pertama :
Ketentuan Umum Kafalah
a.
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
b.
Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang
tidak memberatkan.
c.
Kafalah dengan imbalan bersifat
mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua : Rukun dan Syarat Kafalah
a.
Pihak Penjamin (Kafiil)
1) Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
2) Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan
hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
b.
Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
1)
Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
2)
Dikenal oleh penjamin
c.
Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
1)
Diketahui identitasnya.
2)
Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
3)
Berakal sehat.
d.
Obyek Penjaminan (Makful Bihi
1)
Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik
berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
2)
Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
3)
Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus
kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
4)
Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
5)
Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).
Ketiga : Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
(75FatwaDSNMUI.rar
- RAR archive, unpacked size 11.614.772 bytes)
4. Aplikasi pada
Perbankan Syariah dan LKS Lainnya
Dalam mekanisme system perbankan prinsip-prinsip kafalah
dapat diaplikasikan dalam bentuk pemberian jaminan bank dengan terlebih dahulu
diawali dengan pembukaan fasilitas yang ditentukan oleh bank atas dasar hasil
analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan diberikan fasilitas tersebut.
Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada perkiraan
administratif baik berupa komitmen maupun kontingen. Fasilitas yang dapat
diberikan sehubungan dengan penerapan prinsip kafalah tersebut adalah fasilitas
bank garansi dan fasilitas letter of credit (kartu kredit)
Fungsi kafalah adalah
pemberian jaminan oleh bank bagi pihak-pihak yang terkait untuk menjalankan
bisnis mereka secara lebih amandan terjamin, sehingga adanya kepastian dalam
berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank berarti akan mengambil
alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga akan memperoleh
manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai
imbalan atas jasa yang diberikan, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap
perolehan pendapatan mereka. (Wahab, 2001:56)
5. Pembagian Kafalah
Kafalah ada 2 macam, yaitu:
a)
Kafalah dengan jiwa
Kafalah dengan jiwa dikenal juga dengan sebutan jaminan muka, yaitu komitmen kafiil
untuk menghadirkan orang yang ditanggung kepada makhul lahu. Sah
apabila seseorang mengatakan, ”Aku sebagai kafiil si fulan untuk
(menghadirkan) badan atau wajahnya, atau “Aku sebagai penjamin, atau”Aku
sebagai penanggung”, dan semisalnya. Hal
itu dibolehkan bila menangani perkara yang berhubungan dengan hak manusia.
b) Kafalah dengan harta
1) Kafalah
bid-dain
Komitmen kewajiban pembayaran utang yang menjadi tanggungan orang lain.
Dalam perkara utang, diisyaratkan ialah, utang tersebut dinyatakan benar adanya
pada saat terjadinya transaksi jaminan., dan status barang diketahui, karene
tidak sah apabila status tidak diketahui.
2) Kafalah dengan barang atau kafalah dengan
penyerahan
Kafalah dengan barang atau kafalah dengan penyerahan, yaitu komitmen untuk
menyerahkan barang tertentu yang ada di tangan orang lain.
3) Kafalah
bid-darak (penyusulan)
Maksud ad darak adalah barang jualan yang diketahui adanya bahaya
karena telah adanya transaksi penjualan barang. Berarti ia sebagai jaminan
untuk hak si pembeli kepada si penjual, apabila barang yang dijual terdapat
orang yang lebih berhak. (Sabiq, 2004:53-54)
C. Hawalah/Hiwalah
1.
Pengertian dan dasar hukum
a. Pengertian
Menurut Bahasa yang dimaksud hawalah ialah al-intiqal
dan al-tahwil,
artinya memindahkan
atau mengalihkan. Sedangkan menurut Ibrahim Anis mengatakan
bahwa hiwalah berasal dari kata hawwala yang sinonimnya ghayyara,
artinya mengubah dan memindahkan. Hiwalah secara terminologi
didefinisikan sebagai:
1)
Menurut
Jumhur Ulama
“Akad yang menghendaki pengalihan
hutang dari tanggungjawab seseorang kepada tanggungjawab orang lain”
2)
Sayyid Sabid dalam bukunya fiqh al-sunnah, dia
mendefinisikan hiwalah sebagai:
“Hiwalah adalah memindahkan hutang dari tangungan orang yang memindahkan
kepada orang yang dipindahi hutang”.
Berdasarkan definis yang telah dikemukkan di
atas, dapat dipahami hiwalah adalah suatu akad pemindahan hak dari orang
yang berhutang kepada orang yang dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut
bila terdapat hutang yang sama. (Arianti, 2015:163-165)
b. Dasar Hukum
1)
Firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 282
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ
وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ
كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ
وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡٔٗاۚ
فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا
يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ
وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ
فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ
مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ
إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا
تَسَۡٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ
ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا
تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ
تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ
وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا
شَهِيدٞۚ وَإِن
تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ
ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٨٢
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah
kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
2)
Hadis
Dari Abu Hurairah Radliallahu bahwa Rasulullah bersabda : “menunda
membayar hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman dan apabila seorang dari
kalian hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia ikuti”. (Arianti,
2015:165)
2.
Rukun dan Syarat
a.
Rukun
Rukun dari hiwalah ada 6 diantaranya, sebagai berikut:
1)
Pihak pertama
2)
Pihak kedua
3)
Pihak ketiga
4)
Utang pihak pertama kepada pihak pertama
5)
Utang pihak ketiga kepada pihak pertama
6)
Shighat
b.
Syarat
Adapun syarat dari hawalah/hiwalah, diantaranya:
1)
Untuk pihak pertama, baligh, berakal, tidak gila,
ada pernyataan persetujuan.
2)
Untuk pihak kedua, adanya persetujuan pihak kedua
terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah.
3)
Untuk pihak ketiga, adanya persyaratan dari pihak ketiga.
4)
Yang melahirkan pemindajan kewajiban kepada pihak ketiga
untuk membayar utang kepada pihak kedua, sedangkan kewajiban untuk membayar
hutang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri berhutang kepada
pihak kedua.
5)
Pihak ketiga dipandang sebagai objek akad.
6)
Ijab dan kabul untuk penyempurna akad. (Arianti,
2015:166-168)
3.
Jenis-Jenis
Madzhab Hanafi
membagi hiwalah dalam beberapa bagian: ditinjau dari segi objek akad, dan ditinjau dari jenis akad.
a. Ditinjau dari segi objek akad
ada 2, yaitu:
1)
Hiwalah al-haqq yaitu apabila yang dipindahkan
itu merupakan hak menuntut
hutang (pemindahan hak).
2)
Hiwalah al-dain yaitu apabila yang dipindahkan
itu kewajiban untuk membayar hutang (pemindahan hutang/kewajiban)
b Ditinjau
dari jenis akad ada 2, yaitu:
1) Hiwalah al-Muqayyadah yaitu pemindahan
sebagai ganti dari
pembayaran hutang muhil
(pihak pertama) kepada muhal/pihak kedua (pemindahan bersyarat)
2) Hiwalah
al-Muthlaqah yaitu pemindahan
hutang yang tidak ditegaskan
sebagai ganti rugi
dari pembayaran hutang muhil (pihak pertama)
kepada muhal/pihak kedua (pemindahan mutlak).
(Arianti, 2015:169-170)
4.
Hawalah/Hiwalah dan kartu kredit
Bank syariah
menerbitkan kartu kredit syariah menggunakan skema akad, diantaranya hiwalah.
Nasabah pada dasarnya memiliki hutang kepada merchant (dengan membeli
suatu barang atau tertentu). Kemudian merchant tersebut menagih kepada
bank. Dalam ini, antara merchant dengan bank tidak ada hubungan khusus.
Namun, karena adanya wakalah yang tindak lanjuti dengan hiwalah, maka
bank berkewajiban untuk membayarkan tagihan hutang dari merchant tersebut
atas nama nasabah. Penerapan kartu kredit adalah hiwalah haqq. Karena,
terjadi perpindahan menuntut piutang dari nasabah kepada bank oleh merchant.
5.
Fatwa DSN-MUI
Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional NO: 12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang hawalah.
Menetapkan : Ketentuan Fatwa Tentang Hawalah
Pertama : Ketentuan Umum dalam Hawalah:
a.
Rukun hawalah adalah muhil ( المحي ل
), yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal
( المحال او المحتا ل ), yakni orang
berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih ( المحال علي ه ), yakni orang
yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal
bih ( المحال ب ه ), yakni utang muhil
kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
b.
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
c.
Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi,
atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
d.
Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal,
dan muhal ‘alaih.
e.
Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam
akad secara tegas.
f.
Jika transaksi hawalah telah dilakukan,
pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih, dan hak
penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai, kesepakatan melalui
musyawarah.
(75FatwaDSNMUI.rar - RAR archive, unpacked size
11.614.772 bytes)
6.
Aplikasi pada Perbankan Syariah dan LKS
lainnya
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksi sebagai berikut:
a.
Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki
piutang kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut yang ditagihnya dari
pihak ketiga tersebut.
b.
Post dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa
membayar dulu piutang tersebut.
c.
Bill discounting, secara prinsip bill discounting serupa dengan hiwalah.
Hanya saja dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan
pembayaran fee tidak didapati dalam kontrak hiwalah. (Anggota
IKAPI, 2007:148)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Wakalah atau wakilah merupakan isim masdhar yang secara
etimologi bermakna taukil, yaitu menyerahkan, mewakilkan dan menjaganya. Dasar
hukum wakalah ialah, QS. Al-Kahfi ayat 19, Hadist Urwah
Al-Bariqy, Ijma’ Ulama dan Qiyas.
2. Kafalah secara bahasa
berarti dhammu (gabungan), sedangkan secara syara’ kafalah bermakna
penggabungan tanggungan seorang kafil dengan tanggungan seorang ashil
untuk memenuhi tuntutan dirinya, atau utang, atau barang, atau suatu pekerjaan.
Adapun kafil adalah orang yang berkewajiban
untuk memenuhi tuntunan makful bihi (orang yang ditanggung). Dan ashil
adalah orang yang berutang yang akan ditanggung. Dasar hukum kafalah, ialah QS. Yusuf ayat 66, QS. Yusuf ayat 72, Hadist , dan Ijma’
3. Hawalah/Hiwalah
menurut bahasa ialah al-intiqal dan al-tahwil,
artinya memindahkan
atau mengalihkan. Sedangkan menurut Ibrahim Anis mengatakan bahwa hiwalah berasal
dari kata hawwala yang sinonimnya ghayyara, artinya mengubah dan
memindahkan. Dasar huku hiwalah ialah, QS. Al-Baqarah
ayat 282, dan Hadis.
B. Saran
Karena kita telah membahas tentang wakalah,
kafalah, dan hawalah/hiwalah maka hendaklah terealisasikan dengan baik
dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Anggota IKPI.
(2007). Perbankan Syari’ah di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Arianti,
Farida. (2015). Fikih Muamalah 1. Batusangkar: STAIN Batu Sangkar Press.
Sabiq, Sayyid.
(2006). Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Wahbah,
Zuhaili. (2001). Fiqh Muamalah Perbankan Syari’ah. Jakarta: Kapita
Selekta.
Zainuddin bin
Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fannani. (2016). Terjemahan Fathul Mu’in Jilid
1. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
(75FatwaDSNMUI.rar - RAR archive, unpacked
size 11.614.772 bytes)
Komentar
Posting Komentar